Hierarki dan Dimensi Keimanan dalam Hadis Nabi

Kategori : News, Ditulis pada : 19 Maret 2025, 18:52:59

Sobat Wahid News - Di antara hal yang diyakini oleh ahli sunah waljamaah -yang berpegang dan berpedoman utama dalam beragama pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan jalan yang dilalui para salaf saleh terdahulu- adalah bahwa keimanan seorang hamba itu dinamis dan tidak statis, selalu mengalami fluktuasi naik-turun, bertambah-berkurang, bahkan keimanan memiliki hierarki amalan-amalan, dan hal ini sudah menjadi suatu keharusan untuk dipahami dengan betul dalam pembahasan iman karena inilah yang dibawakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Bantu buatkan gambar orang yang sedang berumrah di depan kabah masjidil haram makkah wahid raja wisata.jpg

Yang menjadi landasan pemahaman ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda,

الإِيمانُ بضْعٌ وسَبْعُونَ، أوْ بضْعٌ وسِتُّونَ، شُعْبَةً، فأفْضَلُها قَوْلُ لا إلَهَ إلّا اللَّهُ، وأَدْناها إماطَةُ الأذى عَنِ الطَّرِيقِ، والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ

“Iman memiliki beberapa cabang (tingkatan) sejumlah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Lailahaillallah’ (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah), sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan bahaya dari jalan. Selain itu, rasa malu (al-haya’) merupakan salah satu cabang iman.” (HR. Muslim no. 35)

Mari kita bedah hadis ini.

Jumlah cabang bagian dan tingkatan iman berdasarkan hadis adalah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian bukanlah suatu permasalahan yang harus didalami lebih daripada substansi hadisnya. Karena substansi hadis di atas adalah bahwa iman tidaklah berada pada satu tingkatan dan aspek saja, bahkan antara seorang yang beriman dengan orang beriman lainnya ada perbedaan kualitas dan tingkat keimanan. Untuk itu, fokus yang akan dibahas di sini adalah terkait hierarki dalam keimanan yang mencakup aspek multi dimensi.

Mengambil contoh yang disuratkan dalam nash hadis, bahwa dari yang tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang tingkatan itu, ada tiga tingkatan keimanan yang disebutkan, yaitu:

Pertama: Tingkat tertinggi adalah Ucapan “La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah);

Kedua: Tingkat terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan; dan

Ketiga: Rasa malu sebagai salah satu cabang yang tentunya berada di bawah ucapan “La ilaha illallah” dan di atas menyingkirkan gangguan dari jalan.

Tiap-tiap dari tingkatan yang disebutkan itu meliputi suatu dimensi keimanan, dan ini termasuk salah satu kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu perkataannya, yang kemudian diriwayatkan menjadi sebuah hadis, memiliki lafaz yang pendek, ringan, tetapi maknanya mendalam, singkat, padat, berisi, dan sudah cukup mewakili.

Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan)
Diwakili oleh cabang tingkat teratas dalam hierarki keimanan, yaitu ucapan “Lailahaillallah”. Perkataan (al-qaul) jika disebutkan, maka ia pada dasarnya mencakup dua hal: keyakinan batin yang terpatri dalam hati dan pengucapan oleh lisan secara verbal. Kedua dimensi inilah yang tercakup dalam pemaknaan ucapan “Lailahaillallah”.

Titel kalimat tauhid ini sebagai cabang tertinggi dalam hierarki keimanan menyiratkan bahwa hal-hal lain dalam agama ini dari ibadah dan lainnya pun termasuk ke dalam kategori “iman” dengan posisi di bawah “Lailahaillallah”.

Kalimat ini tentunya dipenuhi dengan keberkahan dan banyak sekali keutamaan yang bisa menjadi sebuah pembahasan panjang jika diulik lebih dalam, tetapi mari kita sebutkan beberapa di antaranya, seperti:

Pertama: Bahwa para rasul ‘alaihimussalam membuka dakwah mereka dengan kalimat ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan hak) selain Aku, maka sembahlah Aku!’” (QS. Al-Anbiya: 25).

360_F_554030835_T7Dn2TQ54DNOH30xzN1qmosoTub5gHeB.jpg

Senada dengan ini,

Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadisnya pernah menyampaikan bahwa kalimat tauhid inilah, kalimat paling utama yang pernah ia shallallahu ‘alaihi wasallam dan para rasul sebelumnya ucapkan. Sebagaimana hadis dari Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu,

أفضَلُ ما قُلْتُ أنا والنبيُّونَ من قَبْلي: لا إلهَ إلّا اللهُ

“Hal paling agung yang pernah aku dan para nabi terdahulu ucapkan adalah, ‘La ilaha illallah’.” (Hasan, diriwayatkan oleh Malik no. 726, Abdurrazzaq no. 8125, dan Baihaqi no. 8464)

Ketiga: Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أفضلُ الذِّكرِ لا إلهَ إلّا اللهُ وأفضَلُ الدُّعاءِ الحمدُ للهِ

“Zikir yang paling utama adalah ‘Lailahaillallah’ dan doa yang paling utama adalah ‘alhamdulillah’.” (HR. Ibnu Hibban no. 846 dalam “Shahih”-nya, Tirmidzi no. 3383, Ibnu Majah no. 3800, dan Hakim no. 1834)

Keempat: Hadis yang disebutkan di awal pun sudah cukup menunjukkan betapa kalimat tauhid ini punya keutamaan yang besar, ditunjukkan oleh Nabi dengan disebutkannya dan ditempatkannya di cabang tertinggi dalam hierarki keimanan. Hal ini juga menunjukkan bahwa perhatian terhadap tauhid, terkhusus pemahaman, pemaknaan, dan pengamalannya sudah sepatutnya diposisikan dalam prioritas tinggi dibandingkan amalan dan perkara agama yang selainnya.

makkah23.jpg

Dimensi perbuatan (dzahir)
Kalau ada cabang tingkat teratas dan paling utama, berarti ada pula yang paling bawah dan ringannya. Dalam hal ini adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan” yang mewakili dimensi perbuatan atau amalan zahir yang termasuk ke dalam cakupan keimanan.

Disebutkannya poin ini menunjukan bahwa iman itu bukan hanya keyakinan saja, atau bukan hanya ucapan di lisan saja, tetapi juga ada amalan-amalan zahir yang dilakukan oleh anggota tubuh yang termasuk dalam iman.

“Menyingkirkan gangguan dari jalan” juga memiliki hikmah berupa anjuran dan urgensi berbuat kebaikan kepada sesama hamba Allah dengan bagaimanapun bentuk kebaikannya, semudah dan sebisa yang dapat dilakukan. Seperti menyingkirkan gangguan yang terkesan remeh dan ringan, terlebih bukan suatu amalan yang bersifat ritual keagamaan, tetapi justru sesuatu yang remeh dan ringan itu mendapat posisi dalam cabang keimanan dan berarti memiliki nilai kemuliaan tersendiri di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu saja dengan catatan kebaikan yang tetap tidak menyelisihi syariat.

Mengapa yang disebutkan dalam hadis adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan”? Beberapa poin yang mungkin bisa menjawab di antaranya,

Pertama: Mewakili dimensi amalan bil jawarih (dengan anggota tubuh) atau zahir,

Kedua: Karena ini adalah amalan remeh dan ringan di mata manusia, tetapi bernilai di sisi Allah,

Ketiga: Karena tidak semua orang bisa melakukan ini. Setidaknya ada tiga tipe orang yang berkaitan dengan gangguan di jalan, yaitu: 1) Orang yang menaruh atau membuat gangguan di jalan, 2) Orang yang membiarkan saja gangguan yang ada di jalan, dan 3) Orang yang menyingkirkan gangguan yang ada di jalan, dan tipe inilah yang mendapat predikat kemuliaan.

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan hadis lain yang senada dengan pembahasan ini,

بيْنَما رَجُلٌ يَمْشِي بطَرِيقٍ، وجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ على الطَّرِيقِ، فأخَذَهُ، فَشَكَرَ اللَّهُ له، فَغَفَرَ له.

“Suatu ketika seorang lelaki sedang berjalan dan menemukan sebatang ranting berduri. Ia lalu mengambilnya, dan Allah pun menyambut perbuatannya dengan syukur dan mengampuni segala dosanya.” (HR. Bukhari no. 2472 dalam “Shahih”-nya dan Muslim no. 1914)

Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan bahwa kemudian Allah memasukkan orang tersebut ke dalam surga.

Jika hanya sekadar menyingkirkan gangguan dari jalan saja sudah termasuk ke dalam cakupan cabang keimanan dan bahkan bisa menjadi sebab diampuninya dosa sampai pada akhirnya dimasukkan ke dalam surga, bagaimana dengan amalan-amalan lain yang bersifat ritual dan telah jelas anjuran ataupun perintahnya serta tata cara dan keutamaannya? Tentu saja lebih utama.

Ini berarti bahwa perbuatan dan amalan zahir juga termasuk ke dalam iman.

Dimensi hati (batin)
Hal lain yang termasuk ke dalam keimanan dan berada dalam cabang tingkatan keimanan adalah rasa malu yang mewakili dimensi hati (batin) dan posisinya antara kalimat tauhid dan menyingkirkan gangguan dari jalan.

Disebutkannya rasa malu (al-haya’) sebagai salah satu cabang keimanan menunjukkan bahwa rasa malu adalah bagian penting dari keimanan, khususnya dalam ranah batin. Ketika tertanam kuat dalam hati, maka ia akan berfungsi sebagai penghalang dari perbuatan tercela dan pendorong untuk melakukan kebaikan. Jika sifat ini hilang, seseorang tidak lagi memiliki batasan moral dan menjadi rentan terhadap segala bentuk keburukan.

Inilah hal yang perlu digarisbawahi dalam perkara malu serta korelasinya dengan iman, bahwa hilangnya rasa malu adalah awal dari kehancuran moral, selaras dengan nasihat kenabian terdahulu dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ ممّا أدْرَكَ النّاسُ مِن كَلامِ النُّبُوَّةِ الأُولى: إذا لَمْ تَسْتَحْيِ فاصْنَعْ ما شِئْتَ

“Sesungguhnya salah satu warisan ucapan kenabian terdahulu yang masih dijumpai manusia adalah ‘Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka silakan lakukan apa saja yang engkau mau.’”

Pembahasan tentang cabang, tingkatan, atau hierarki keimanan adalah hal yang sangat krusial untuk diketahui setiap muslim. Bahwa iman memiliki tingkatan, sehingga tidak sama antara satu hal yang memiliki nilai keimanan dengan hal lainnya. Bahwa iman adalah keyakinan multidimensi, mencakup dimensi hati, lisan, dan anggota tubuh. Bahwa iman seseorang bisa mengalami pasang-surut, bertambah-berkurang, sehingga harus selalu dijaga dan tidak ditinggalkan begitu saja.

Seorang sahabat bernama Umair bin Habib Al-Khathmi radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Iman itu dapat bertambah (menguat) dan berkurang (melemah).” Ia kemudian melanjutkan dengan menjawab pertanyaan dari seseorang tentang bagaimana iman bertambah dan berkurang, “Saat kami terus-menerus mengingat Allah, memuji, dan mensucikan-Nya, betapa iman kami tumbuh. Namun, ketika kami terjerumus dalam kelengahan dan kelalaian, iman kami pun surut.”

Keimanan sebagai realitas spiritual setiap muslim, kestabilannya sangat dipengaruhi oleh usahanya menjaga hati, pikiran, dan amal tetap terpaut kepada Allah.[1]

Dari sini kita dapat memahami bahwa iman bukanlah sesuatu yang tetap, tetapi harus selalu dijaga dan ditingkatkan dengan:

  1. Membaca dan memahami Al-Qur’an
  2. Mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari
  3. Menjauhi hal-hal yang dapat melemahkan iman

Kesimpulan

Hadis ini mengajarkan bahwa iman memiliki tingkatan dan mencakup berbagai dimensi, yaitu:
✅ Dimensi Hati dan Lisan → Kalimat tauhid (La ilaha illallah) sebagai inti iman
✅ Dimensi Perbuatan → Menyingkirkan gangguan dari jalan sebagai wujud nyata iman
✅ Dimensi Hati → Rasa malu sebagai pengendali moral dan spiritual

Selain itu, iman juga bersifat dinamis, bisa bertambah dan berkurang tergantung pada usaha seseorang dalam menjaga dan mengamalkannya.

Sebagai seorang muslim, memahami hierarki dan dimensi keimanan ini sangat penting agar kita bisa menjaga keimanan tetap kuat dan stabil dalam menjalani kehidupan.

> Wallahu a’lam bish-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad.

Cari Blog

10 Blog Terbaru

10 Blog Terpopuler

Kategori Blog

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id